.............

Kamis, 19 September 2013

Cara BUDIDAYA IKAN GURAME



(Osphronemus gouramy)
Gurame merupakan ikan yang memiliki pertumbuhan agak lambat namun harganya relatif meningkat setiap saat. Untuk DKI Jakarta, jenis ikan ini cocok karena tidak memerlukan air yang mengalir. Untuk memberi petunjuk bagi masyarakat yang berminat di bawah ini diuraikan tata cara budidayanya.

 JENIS

Jenis ikan gurame yang dikenal masyarakat berdasarkan bentuknya ada 2 (dua) yaitu:

1) Gurame angsa (soang) : badan relatif panjang, sisik relatif lebar. Ukuran yang bisa dicapainya berat 8 kg, panjang 65 cm.

2) Gurame Jepang : badan relatif pendek dan sisik lebih kecil. Ukuran yang dicapai hanya 45 cm dengan berat kurang dari 4,5 kg.

Jika dilihat dari warnanya terdapat gurame hitam, putih dan belang.

MEMILIH INDUK

Induk yang dipakai sebaiknya mencapai umur 3 tahun. Untuk membedakan induk jantan dan betina bisa dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut:

1) Induk betina
Ikan betina mempunyai dasar sirip dada yang gelap atau berwarna kehitaman, warna dagu ikan betina keputih-putihan atau sedikit coklat, jika diletakkan di lantai maka ikan betina tidak menunjukan reaksi apa-apa. Sebaiknya sudah berumur 3~7 tahun.

2) Induk jantan 
Ikan jantan mempunyai dasar sirip berwarna terang atau keputih-putihan, mempunyai dagu yang berwarna kuning, lebih tebal daripada betina dan menjulur. Induk jantan apabila diletakkan pada lantai atau tanah akan menunjukan reaksinya dengan cara mengangkat pangkal sirip ekornya ke atas.

Selain mengetahui perbedaan induk jantan dan betina, perlu juga diketahui demi keberhasilan pembenihan gurame ini. Induk telah berumur 3~7 tahun. Berbeda dengan induk ikan tambakan, induk ikan gurame ini semakin bertambah umurnya akan mengeluarkan telur semakin banyak, perut akan membulat dan relatif penjang dengan warna badan terang. Sisik-sisiknya usahakan tidak cacat/hilang dan masih dalam keadaan tersusun rapi.

Induk betina yang cukup umur dan matang kelamin ditandai dengan perutnya akan membesar ke belakang atau di dekat lubang dubur. Pada lubang anus akan nampak putih kemerah-merahan. Dan apabila kita coba untuk meraba perutnya akan teras lembek.


PEMIJAHAN

Pemasukan air dilakukan pagi-pagi sekali, sehingga menjelang jam 10.00 kolam telah berisi air setengahnya. Induk-induk yang telah lolos seleksi dimasukkan dalam kolam dengan hati-hati dan penuh kasih sayang. Perbandingan jumlah antara induk jantan dan betina biasa 1 : 1 - 14. Dengan harapan induk jantan paling sedikit bisa mengawini dua ekor induk betina dalam satu tarikan.

Setelah dilepaskan dalam kolam pemijahan biasanya induk jantan tidak otomatis langsung membuat sarang, tetapi terlebih dahulu berjalan-jalan, berenang kesana-sini mengenal wilayahnya. Setelah 15 hari sejak dilepaskan, induk jantan biasanya sudah langsung disibukkan oleh kegiatannya membuat sarang.

Garis tengah sarang biasanya kurang lebih 30 cm, yang biasanya dikerjakan oleh induk jantan ini selama seminggu (7 hari). Setelah sarang selesai dibuat, induk jantan cepat-cepat mencari dan merayu induk betina untuk bersamasama memijah disarang. Induk betina ini akan menyemprotkan telur-telurnya kedalam sarang melalui lubang sarang yang kecil, kemudian jantan akan menyemprotkan spermanya, yang akhirnya terjadilah pembuahan didalam istana ijuk ini. Tidak seperti halnya ikan mas yang pemijahannya hanya beberapa jam saja, pemijahan ikan gurame ini biasanya berlangsung cukup lama. Induk jantan bertugas menjaga sarang selama pemijahan berlangsung. Setelah pemijahan selesai, biasanya giliran induk betina yang bertugas menjaga keturunannya, dengan terlebih dulu menutup lubang sarang dengan ijuk atau rumputan kering.

Dengan nalurinya sebagai orang tua yang baik, biasanya induk betina ini menjaga anaknya dengan tak lupa mengipaskan siripnya terutama sirip ekor kearah sarang. Gerakan sirip induk betina ini akan meningkatkan kandungan oksigen terlarut dalam air. Air dengan kandungan oksigen yang cukup akan membantu menetaskan telur-telur dalam sarang. Sebab seperti diketahui, telurpun butuh oksigen dalam prosesnya menjadi benih ikan. Sementara dengan kasih sayang induk betina menjaga keturunanya, induk jantan akan kembali menyusun sarang dan memikat induk betina yang lainnya untuk melanjutkan keturunannya. Dari atas kolam kita bisa mengetahui induk-induk yang telah memijah tanpa turun ke kolam dengan melihat adanya bau amis, dan terlihat adanya lapisan 
minyak tepat di atas sarang pemijahan.

PENETASAN

Penetasan telur bisa dilakukan di paso, aquarium atau pun ember-ember
plastik. Cara memindahkan telur dari dalam sarang ke paso/aquarium
dilakukan dengan hati-hati tidak terlalu kasar untuk menghindari agar telur tidak
pecah. Sarang bahan dari ijuk yang ada 5 cm dibawah permukaan air dan
telah ditutup rapat, diangkat dengan cara dimasukkan kedalam ember yang
berisi 3/4 bagian ember. Sarang menghadap ke atas dan ditenggelamkan
kemudian perlahan-lahan tutup sarang dibuka, maka telur-telur akan keluar dan
mengambang dipermukaan air. Selanjutnya telur diangkat dengan mengunakan
piring kecil untuk dipindahkan ke pasoaquarium atau ember bak yang telah diisi
air bersih yan sudah diendapkan. Penggantian air dilakukan secara rutin agar
telur-telur menetas dengan sempurna dan telur yang tidak menetas segera
dikeluarkan.
Telur akan menetas dalam tempo 30 ~ 36 jam.

PENDEDERAN

Selama 5 hari benih-benih belum membutuhkan makanan tambahan, karena
masih mengisap kuning telur (yolk sack). Setelah lewat masa itu benih
membutuhkan makanan yang harus disuplai dari luar. Oleh karenya jika masih
belum ditebarkan di kolam harus diberi makan infusoria.
Jika benih hendak ditebarkan di kolam, kolam harus dikeringkan dan dipupuk
dengan pupuk kandang 1 kg/m2. Setelah seminggu benih ditebarkan, yaitu
ketika air kolam sudah berubah menjadi kehijau-hijauan. Benih gurame umur 7
hari dapat dipasarkan kepada para pendedar dengan system jual sarang
sehinga frekwensi pembenihan dapat ditingkatkan.
Padat tebar pendederan 50 ~ 100 ekor/m2, sementara kolam yang digunakan
berkisar 50.250 m2.

cara mudah budidaya cacing tanah



1. SEJARAH SINGKAT

Cacing tanah termasuk hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang
belakang (invertebrata). Cacing tanah termasuk kelas Oligochaeta. Famili
terpenting dari kelas ini Megascilicidae dan Lumbricidae

Cacing tanah bukanlah hewan yang asing bagi masyarakat kita, terutama bagi
masyarakat pedesaan. Namun hewan ini mempunyai potensi yang sangat
menakjubkan bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia.


2. JENIS

Jenis-jenis yang paling banyak dikembangkan oleh manusia berasal dari famili
Megascolicidae dan Lumbricidae dengan genus Lumbricus, Eiseinia,
Pheretima, Perionyx, Diplocardi dan Lidrillus.

Beberapa jenis cacing tanah yang kini banyak diternakan antara lain:
Pheretima, Periony dan Lumbricus. Ketiga jenis cacing tanah ini menyukai
bahan organik yang berasal dari pupuk kandang dan sisa-sisa tumbuhan.

Cacing tanah jenis Lumbricus mempunyai bentuk tubuh pipih. Jumlah segmen
yang dimiliki sekitar 90-195 dan klitelum yang terletak pada segmen 27-32.
Biasanya jenis ini kalah bersaing dengan jenis yang lain sehingga tubuhnya
lebih kecil. Tetapi bila diternakkan besar tubuhnya bisa menyamai atau melebihi
jenis lain.

Cacing tanah jenis Pheretima segmennya mencapai 95-150 segmen.
Klitelumnya terletak pada segmen 14-16. Tubuhnya berbentuk gilik panjang dan
silindris berwarna merah keunguan. Cacing tanah yang termasuk jenis
Pheretima antara lain cacing merah, cacing koot dan cacing kalung.

Cacing tanah jenis Perionyx berbentuk gilik berwarna ungu tua sampai merah
kecokelatan dengan jumlah segmen 75-165 dan klitelumnya terletak pada
segmen 13 dan 17. Cacing ini biasanya agak manja sehingga dalam
pemeliharaannya diperlukan perhatian yang lebih serius.

Cacing jenis Lumbricus Rubellus memiliki keunggulan lebih dibanding kedua
jenis yang lain di atas, karena produktivitasnya tinggi (penambahan berat
badan, produksi telur/anakan dan produksi bekas cacing “kascing”) serta tidak
banyak bergerak

3. MANFAAT

Dalam bidang pertanian, cacing menghancurkan bahan organik sehingga
memperbaiki aerasi dan struktur tanah. Akibatnya lahan menjadi subur dan
penyerapan nutrisi oleh tanaman menjadi baik. Keberadaan cacing tanah akan
meningkatkan populasi mikroba yang menguntungkan tanaman. Selain itu juga
cacing tanah dapat digunakan sebagai:

1) Bahan Pakan Ternak
Berkat kandungan protein, lemak dan mineralnya yang tinggi, cacing tanah
dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak seperti unggas, ikan, udang dan
kodok.

2) Bahan Baku Obat dan bahan ramuan untuk penyembuhan penyakit.
Secara tradisional cacing tanah dipercaya dapat meredakan demam,
menurunkan tekanan darah, menyembuhkan bronchitis, reumatik sendi, sakit
gigi dan tipus.

3) Bahan Baku Kosmetik
Cacing dapat diolah untuk digunakan sebagai pelembab kulit dan bahan
baku pembuatan lipstik.
4) Makanan Manusia

Cacing merupakan sumber protein yang berpotensi untuk dimasukkan
sebagai bahan makanan manusia seperti halnya daging sapi atau Ayam.

4. PERSYARATAN LOKASI

1) Tanah sebagai media hidup cacing harus mengandung bahan organik dalam
jumlah yang besar.

2) Bahan-bahan organik tanah dapat berasal dari serasah (daun yang gugur),
kotoran ternak atau tanaman dan hewan yang mati. Cacing tanah menyukai
bahan-bahan yang mudah membusuk karena lebih mudah dicerna oleh
tubuhnya.

3) Untuk pertumbuhan yang baik, cacing tanah memerlukan tanah yang sedikit
asam sampai netral atau ph sekitar 6-7,2. Dengan kondisi ini, bakteri dalam
tubuh cacing tanah dapat bekerja optimal untuk mengadakan pembusukan
atau fermentasi.

4) Kelembaban yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan
cacing tanah adalah antara 15-30 %.

5) Suhu yang diperlukan untuk pertumbuhan cacing tanah dan penetasan
kokon adalah sekitar 15–25 derajat C atau suam-suam kuku. Suhu yang
lebih tinggi dari 25 derajat C masih baik asal ada naungan yang cukup dan
kelembaban optimal.

6) Lokasi pemeliharaan cacing tanah diusahakan agar mudah penanganan dan
pengawasannya serta tidak terkena sinar matahari secara langsung,
misalnya di bawah pohon rindang, di tepi rumah atau di ruangan khusus
(permanen) yang atapnya terbuat dari bahan-bahan yang tidak meneruskan
sinar dan tidak menyimpan panas.


5. PEDOMAN TEKNIS BUDIDAYA

5.1. Penyiapan Sarana dan Peralatan

Pembuatan kandang sebaiknya menggunakan bahan-bahan yang murah dan
mudah didapat seperti bambu, rumbia, papan bekas, ijuk dan genteng tanah
liat.

Salah satu contoh kandang permanen untuk peternakan skala besar adalah
yang berukuran 1,5 x 18 m dengan tinggi 0,45 m. Didalamnya dibuat rak-rak
bertingkat sebagai tempat wadah-wadah pemeliharaan. Bangunan kandang
dapat pula tanpa dinding (bangunan terbuka).
Model-model sistem budidaya, antara lain rak berbaki, kotak bertumpuk,
pancing bertingkat atau pancing berjajar..

5.2. Pembibitan

Persiapan yang diperlukan dalam pembudidayaan cacing tanah adalah meramu
media tumbuh, menyediakan bibit unggul, mempersiapkan kandang cacing dan
kandang pelindung.

1) Pemilihan Bibit Calon Induk

Sebaiknya dalam beternak cacing tanah secara komersial digunakan bibit
yang sudah ada karena diperlukan dalam jumlah yang besar. Namun bila
akan dimulai dari skala kecil dapat pula dipakai bibit cacing tanah dari alam,
yaitu dari tumpukan sampah yang membusuk atau dari tempat pembuangan
kotoran hewan.

2) Pemeliharaan Bibit Calon Induk

Pemeliharaan dapat dibagi menjadi beberapa cara:

a. pemeliharaan cacing tanah sebanyak-banyaknya sesuai tempat yang
digunakan. Cacing tanah dapat dipilih yang muda atau dewasa. Jika
sarang berukuran tinggi sekitar 0,3 m, panjang 2,5 m dan lebar kurang
lebih 1 m, dapat ditampung sekitar 10.000 ekor cacing tanah dewasa.
b. pemeliharaan dimulai dengan jumlah kecil. Jika jumlahnya telah
bertambah, sebagian cacing tanah dipindahkan ke bak lain.
c. pemeliharaan kombinasi cara a dan b.
d. pemeliharaan khusus kokon sampai anak, setelah dewasa di pindah ke
bak lain.
e. Pemeliharaan khusus cacing dewasa sebagai bibit.

3) Sistem Pemuliabiakan

Apabila media pemeliharaan telah siap dan bibit cacing tanah sudah ada,
maka penanaman dapat segera dilaksanakan dalam wadah pemeliharaan.
Bibit cacing tanah yang ada tidaklah sekaligus dimasukan ke dalam media,
tetapi harus dicoba sedikit demi sedikit. Beberapa bibit cacing tanah
diletakan di atas media, kemudian diamati apakah bibit cacing itu masuk ke
dalam media atau tidak. Jika terlihat masuk, baru bibit cacing yang lain
dimasukkan. Setiap 3 jam sekali diamati, mungkin ada yang berkeliaran di
atas media atau ada yang meninggalkan media (wadah). Apabila dalam
waktu 12 jam tidak ada yang meninggalkan wadah berarti cacing tanah itu
betah dan media sudah cocok. Sebaliknya bila media tidak cocok, cacing
akan berkeliaran di permukaan media. Untuk mengatasinya, media harus
segera diganti dengan yang baru. Perbaikan dapat dilakukan dengan cara
disiram dengan air, kemudian diperas hingga air perasannya terlihat
berwarna bening (tidak berwarna hitam atau cokelat tua).

4) Reproduksi, Perkawinan

Cacing tanah termasuk hewan hermaprodit, yaitu memiliki alat kelamin
jantan dan betina dalam satu tubuh. Namun demikian, untuk pembuahan,
tidak dapat dilakukannya sendiri. Dari perkawinan sepasang cacing tanah,
masing-masing akan dihasilkan satu kokon yang berisi telur-telur.
Kokon berbentuk lonjong dan berukuran sekitar 1/3 besar kepala korek api.
Kokon ini diletakkan di tempat yang lembab. Dalam waktu 14-21 hari kokon
akan menetas. Setiap kokon akan menghasilkan 2-20 ekor, rata-rata 4 ekor.
Diperkirakan 100 ekor cacing dapat menghasilkan 100.000 cacing dalam
waktu 1 tahun. Cacing tanah mulai dewasa setelah berumur 2-3 bulan yang
ditandai dengan adanya gelang (klitelum) pada tubuh bagian depan. Selama
7-10 hari setelah perkawinan cacing dewasa akan dihasilkan 1 kokon.

5.3. Pemeliharaan

1) Pemberian Pakan
Cacing tanah diberi pakan sekali dalam sehari semalam sebanyak berat
cacing tanah yang ditanam. Apabila yang ditanam 1 Kg, maka pakan yang
harus diberikan juga harus 1 Kg. Secara umum pakan cacing tanah adalah
berupa semua kotoran hewan, kecuali kotoran yang hanya dipakai sebagai
media.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian pakan pada cacing tanah,
antara lain :
- pakan yang diberikan harus dijadikan bubuk atau bubur dengan cara
diblender.
- bubur pakan ditaburkan rata di atas media, tetapi tidak menutupi seluruh
permukaan media, sekitar 2-3 dari peti wadah tidak ditaburi pakan.
- pakan ditutup dengan plastik, karung , atau bahan lain yang tidak tembus
cahaya.
- pemberian pakan berikutnya, apabila masih tersisa pakan terdahulu,
harus diaduk dan jumlah pakan yang diberikan dikurangi.
- bubur pakan yang akan diberikan pada cacing tanah mempunyai
perbandingan air 1:1.
3) Penggantian Media
Media yang sudah menjadi tanah/kascing atau yang telah banyak telur
(kokon) harus diganti. Supaya cacing cepat berkembang, maka telur, anak
dan induk dipisahkan dan ditumbuhkan pada media baru. Rata rata
penggantian media dilakukan dalam jangka waktu 2 Minggu.
4) Proses Kelahiran
Bahan untuk media pembuatan sarang adalah: kotoran hewan,
dedaunan/Buah-buahan, batang pisang, limbah rumah tangga, limbah pasar,
kertas koran/kardus/kayu lapuk/bubur kayu.
Bahan yang tersedia terlebih dahulu dipotong sepanjang 2,5 Cm. Berbagai
bahan, kecuali kotoran ternak, diaduk dan ditambah air kemudian diaduk
kembali. Bahan campuran dan kotaran ternak dijadikan satu dengan
persentase perbandingan 70:30 ditambah air secukupnya supaya tetap
basah.

6. HAMA DAN PENYAKIT

Keberhasilan beternak cacing tanah tidak terlepas dari pengendalian terhadap
hama dan musuh cacing tanah. Beberapa hama dan musuh cacing tanah
antara lain: semut, kumbang, burung, kelabang, lipan, lalat, tikus, katak, tupai,
ayam, itik, ular, angsa, lintah, kutu dan lain-lain.
Musuh yang juga ditakuti adalah semut merah yang memakan pakan cacing
tanah yang mengandung karbohidrat dan lemak. Padahal kedua zat ini
diperlukan untuk penggemukan cacing tanah. Pencegahan serangan semut
merah dilakukan dengan cara disekitar wadah pemeliharaan (dirambang) diberi
air cukup.


7. PANEN

Dalam beternak cacing tanah ada dua hasil terpenting (utama) yang dapat
diharapkan, yaitu biomas (cacing tanah itu sendiri) dan kascing (bekas cacing).
Panen cacing dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya adalah
dengan mengunakan alat penerangan seperti lampu petromaks, lampu neon
atau bohlam. Cacing tanah sangat sensitif terhadap cahaya sehingga mereka
akan berkumpul di bagian atas media. Kemudian kita tinggal memisahkan
cacing tanah itu dengan medianya.
Ada cara panen yang lebih ekonomis dengan membalikan sarang. Dibalik
sarang yang gelap ini cacing biasanya berkumpul dan cacing mudah terkumpul,
kemudian sarang dibalik kembali dan pisahkan cacing yang tertinggal.
Jika pada saat panen sudah terlihat adanya kokon (kumpulan telur), maka
sarang dikembalikan pada wadah semula dan diberi pakan hingga sekitar 30
hari. Dalam jangka waktu itu, telur akan menetas. Dan cacing tanah dapat
diambil untuk dipindahkan ke wadah pemeliharaan yang baru dan kascingnya
siap di panen.

cara pengendaliannya Hama dan penyakit ikan lele


Hama dan penyakit pada budidaya lele menjadi salah faktor penentu keberhasilan bisnis ini. Menanggulangi penyakit lele merupakan salah satu upaya mekmaksimalkan budidaya lele. Meski pengetahuan dan cara menanggulangi penyakit pada budidaya lele cukup penting terkadang diabaikan oleh peternak lele, apalagi jika usaha lele ini hanya menjadi usaha sampingan atau bisnis skala usaha kecil.

Banyak kejadian lele tiba-tiba mati mendadak dalam jumlah besar atau satu per satu mati dan akhirnya tidak bisa panen. Pertanyaan dan keluhan mengenai cara mengatasi penyakit pada ikan lele cukup sering kita dengar sehingga penting bagi para pembudidaya lele untuk memiliki pengetahuan di dalam hal ini.

Hama ikan Lele ukuran besar nampak secara kasat mata misalnya kucing, ular,Linsang. Untuk lele bibit di sawah hama lele bisa datang dari kodok, Ucrit dan burung pemakan ikan dan hewan-hewan lain. Penyakit pada ikan lele biasanya disebabkan oleh mikroorganisme yang tidak kasat mata.

Penyakit pada ikan lele cukup beragam dan memerlukan penanganan yang berbeda-beda tergantung jenis penyakitnya. Untuk mengetahui jenis penyakit apa yang menimpa ikan lele peliharaan kita, bisa dilihat dari gejala-gejala luar ikan lele. Meski lele termasuk ikan yang tahan hidup dalam air yang berkualitas buruk, tetapi sanitasi air memegang peranan penting dalam menunjang kesehatan lele.

Penyakit pada ikan lele biasanya disebabkan oleh mikroorganisme yang bersifat parasit yang hidup pada tubuh ikan lele, mikroorganisme ini biasanya berupa virus, bakteri, jamur, dan protozoa yang berukuran kecil. Beberapa penyebab penyakit pada ikan lele antara lain:


1. Penyakit karena Bakteri Aeromonas hydrophilla dan Pseudomonas hydrophylla

Bentuk bakteri ini seperti batang dengan cambuk yang terletak di ujung batang, dan cambuk ini digunakan untuk bergerak. Ukurannya 0,7-0,8 x 1-1,5 mikron.
Gejala Lele Terserang Bakteri ini : warna tubuh menjadi gelap, kulit kesat dan timbul pendarahan. Lele bernafas megap-megap di permukaan air.

Pencegahan: lingkungan harus tetap bersih, termasuk kualitas air harus baik.
Pengobatan: melalui makanan antara lain pakan dicampur Terramycine dengan dosis 50 mg/kg ikan/hari, diberikan selama 7-10 hari berturut-turut atau dengan Sulphonamid sebanyak 100 mg/kg ikan/hari selama 3-4 hari.


2. Penyakit tuberculosis yang disebabkan bakteri Mycobacterium fortoitum

Gejalanya: tubuh ikan berwarna gelap, perut bengkak (karena tubercle/bintil-bintil pada hati, ginjal, dan limpa). Posisi berdiri di permukaan air, berputar-putar atau miring-miring, bintik putih di sekitar mulut dan sirip.
Pengendalian: memperbaiki kualitas air dan lingkungan kolam.
Pengobatan: dengan Terramycin dicampur dengan makanan 5-7,5 gram/100 kg ikan/hari selama 5-15 hari.


3. Penyakit karena Jamur/Cendawan Saprolegnia.

Penyebab: jamur ini tumbuh menjadi saprofit pada jaringan tubuh yang mati atau ikan yang kondisinya lemah.

Gejala: ikan ditumbuhi sekumpulan benang halus seperti kapas, pada daerah luka atau ikan yang sudah lemah, menyerang daerah kepala tutup insang, sirip, dan tubuh lainnya. Penyerangan pada telur, maka telur tersebut diliputi benang seperti kapas.

Pengendalian: benih gelondongan dan ikan dewasa direndam pada Malachyte Green Oxalate 2,5-3 ppm selama 30 menit dan telur direndam Malachyte Green Oxalate 0,1-0,2 ppm selama 1 jam atau 5-10 ppm selama 15 menit.


4. Penyakit bintik putih dan gatal (Trichodiniasis)

Penyebab: parasit dari golongan Ciliata, bentuknya bulat, kadang-kadang amuboid, mempunyai inti berbentuk tapal kuda, disebut Ichthyophthirius multifilis.
Gejala:
(1) ikan yang diserang sangat lemah dan selalu timbul di permukaan air;
(2) terdapat bintik-bintik berwarna putih pada kulit, sirip dan insang;
(3) ikan sering menggosok-gosokkan tubuh pada dasar atau dinding kolam.
Pengendalian: air harus dijaga kualitas dan kuantitasnya.

Pengobatan: dengan cara perendaman ikan yang terkena infeksi pada campuran larutan formalin 25 cc/m3 dengan larutan Malachyte Green Oxalate 0,1 gram/m3 selama 12-24 jam, kemudian ikan diberi air yang segar. Pengobatan diulang setelah 3 hari.


5. Penyakit cacing Trematoda

Penyebab: cacing kecil Gyrodactylus dan Dactylogyrus. Cacing Dactylogyrus menyerang insang, sedangkan cacing Gyrodactylus menyerang kulit dan sirip.

Gejala: insang yang dirusak menjadi luka-luka, kemudian timbul pendarahan yang akibatnya pernafasan terganggu.

Pengendalian:
(1) direndam formalin 250 cc/m3 air selama 15 menit;
(2) Methyline Blue 3 ppm selama 24 jam;
(3) menyelupkan tubuh ikan ke dalam larutan Kalium Permanganat (KMnO4) 0,01% selama ±30 menit;
(4) memakai larutan NaCl 2% selama ± 30 menit;
(5) dapat juga memakai larutan NH4OH 0,5% selama ±10 menit.


6. Parasit Hirudinae

Penyebab: lintah Hirudinae, cacing berwarna merah kecoklatan.

Gejala: pertumbuhannya lambat, karena darah terhisap oleh parasit, sehingga menyebabkan anemia/kurang darah.

Pengendalian: Selalu diamati pada saat mengurangi padat tebar dan dengan larutan Diterex 0,5 ppm.
Apabila lele menunjukkan tanda-tanda sakit, harus dikontrol faktor penyebabnya, kemudian kondisi tersebut harus segera diubah.

Penyakit yang menimpa ikan lele biasanya terjadi karena lingkungan air yang tidak baik, misalnya tercemar oleh zat-zat berbahaya, kepadatan tebar yang terlalu besar dan perubahan suhu yang drastis. Pada kondisi demikian daya tahan ikan lele menurun dan mudah terserang penyakit. Penyakit pada lele bisa juga berasal dari bibit lele sudah membawa penyakit dari asalnya, hanya belum menunjukkan gejala sakit saat ditebar. Untuk itu perlu berhati-hati dalam memilih bibit lele. Cara lain mengatasi penyakit ikan lele adalah mengkarantina ikan lele sakit pada kolam karantina yang diberi garam ikan, selain dengan pengobatan-pengobatan tersebut.

Pentingnya oksigen terlarut dalam budidaya ikan


Dalam budidaya intensif, oksigen terlarut (DO) merupakan factor pembatas pertama, yang selanjutnya diikuti oleh ammonia-nitrogen sebagai factor pembatas kedua. Oleh karena itu, petambak intensif sudah selayaknya memonitor rutin konsentrasi DO dan mengetahui factor-factor yang mempengaruhi level DO didalam kolam budidaya. Udang biasanya lebih sensitive terhadap level DO yang rendah dan dasar kolam yang kotor dibandingkan ikan. Mempertahankan level oksigen selalu tinggi (> 4 ppm) sangat kritikal di kolam intensif dengan kepadatan yang tinggi.

Oksigen diperlukan udang untuk respirasi dan proses fisiologis yang mengoksidasi karbohidrat dan melepaskan energy untuk membongkar nutrient dari pakan. Oleh karena itu jika suplai oksigen kurang, maka kemampuan udang untuk membongkar pakan juga terbatas sehingga berpengaruh terhadap laju pertumbuhan dan konversi pakan. Konsentrasi DO yang rendah merupakan penyebab utama dari stress, penurunan nafsu makan, pertumbuhan lambat, rentan penyakit dan akhirnya terjadi mortalitas dalam budidaya.



234 Menurut Boyd di artikel diatas, yang harus menjadi perhatian kita adalah level DO minimum harian. Level DO bisa saja tinggi selama 24 jam, namun species budidaya tampaknya lebih dipengaruhi terutama level DO rendah pada malam hari hingga menjelang subuh. Boyd dalam penelitian tsb menunjukkan bahwa SR, produksi dan FCR lebih baik di kolam lele dan udang yang konsentrasi DO harian minimumnya lebih tinggi, tak pernah menurun hingga dibawah 3,5 mg/l. Overfeeding karena mortalitas yang tinggi yang tak diketahui bisa menyebabkan DO drop dan FCR yang lebih tinggi. Oleh karena itu sangat penting untuk menyesuaikan feeding rate dengan nafsu makan dan mortalitas.



235 Boyd mengilustrasikan ‘nasib’ pakan yang diaplikasikan ke system budidaya. Jika terjadi overfeeding, maka sebagian besar dari pakan merupakan pakan yang tak termakan. Bagian ini, disamping feces akan didekomposisi oleh bakteri yang mengkonsumsi banyak oksigen dan menghasilkan ammonia. Sementara pakan yang termakan oleh udang digunakan untuk respirasi, diekskresikan sebagai ammonia & metabolit lain dan juga dikonversi ke biomass udang. DO di air yang digunakan untuk respirasi, dekomposisi microbial terhadap sisa pakan dan feces, oksidasi ammonia oleh bakteri nitrifikasi mencerminkan feed oxygen demand. Feed oxygen demand bervariasi sesuai dengan FCE (feed conversion efficiency), namun 1.25 kg O2/kg pakan dipandang sebagai ukuran yang umum digunakan. Peningkatan FCE dari 0.417 menjadi 0.625 menurunkan FCR dari 2.4 menjadi 1.6 dan menurunkan Feed oxygen demand sebesar 1.18 kg O2/kg udang (37.8% penurunannya). Dengan penurunan tsb akan memperbaiki kualitas air dan menurunkan oxygen demand dari limbah yang terbuang. Penurunan 0.8 kg pakan untuk memproduksi 1 kg udang pada penurunan FCR 2.4 menjadi 1.6 merupakan suatu keuntungan yang sangat ekonomis. Oleh karena prioritasnya adalah penggunaan pakan berkualitas tinggi, feeding program dan feeding rate yang tepat untuk meningkatkan efisiensi pakan dan manajemen kualitas air yang baik sehingga bisa menurunkan FCR.

Kelarutan oksigen dalam air adalah suatu fungsi suhu, salinitas dan ketinggian air laut. Suhu, salinitas dan ketinggian dari laut meningkat, maka kelarutan oksigen menurun.
Ketika perairan dengan saturasi DO 100%, laju difusi oksigen dari air ke udara seimbang dengan laju difusi oksigen dari udara ke air.

Dua factor biologis yang mempengaruhi oksigen terlarut di air budidaya adalah respirasi dan fotosintesa yang merupakan dua peristiwa yang berlawanan terkait oksigen terlarut. Laju konsumsi oksigen karena respirasi bergantung dari suhu air, total biomass hewan, tumbuhan air dan bakteri aerobic dalam system. Akumulasi limbah dalam system akan meningkatkan biomass bakteri heterotrof yang menuntut oksigen yang besar. Oleh karena itu perlu mendapat perhatian yang serius untuk menghindari deplesi oksigen dalam system.

Siang hari laju produksi oksigen karena proses fotosintesa biasanya melebihi laju konsumsi oksigen akibat respirasi fitoplankton. Namun dimalam hari ketika tak ada aktifitas fotosintesa, oksigen terlarut akan menurun karena proses respirasi semua organism hidup yang hidup dalam system tsb. Dalam system dengan bloom plankton yang tinggi, konsentrasi oksigen sangat berfluktuasi, dan sering terjadi deplesi oksigen di malam hingga menjelang subuh, terutama setelah cuaca panas dan mendung. Jika plankton mati, bakteri yang menguraikan sel alga yang mati akan menyebabkan konsumsi oksigen yang tinggi. Masalah ini merupakan masalah yang serius dalam budidaya. Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengendalikan pertumbuhan alga yang berlebihan dalam system budidaya.

Sebagian besar masalah DO dapat dihindari dengan aerasi yang cukup. Kebutuhan aerasi sebaiknya dihitung berdasarkan perkiraan biomass udang maksimumnya (yang juga berkaitan dengan jumlah input pakan ke dalam system), dan perlu diingat bahwa oksigen tidak hanya dikonsumsi oleh udang, namun justru proporsi yang lebih banyak karena aktifitas bakteri autotrof dan heterotrof dan alga yang hidup di system budidaya. Dalam kasus-kasus tertentu dimana laju beban di system budidaya berlebih (> 5 kg/m3) biasanya sangat sulit untuk mempertahankan konsentrasi DO diatas 5 mg/l hanya dengan menggunakan aerator, maka injeksi oksigen murni bisa dipertimbangkan.

PENGENDALIAN PENYAKIT IKAN AKIBAT PARASIT (dengan daun sirih)


SIRIH (piper betle L) sudah banyak dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat indonesia sejak lama karena semua bagian tanaman yang meliputi akar, daun dan bijinya digunakan digunakan sebagai sebagai obat tetapi daun pada sirih lebih terkenal dan banyak digunakan.Atsiri terkandung didalam daun sirih mempunyai bau yang aromatik dan berasa pedas. Atsiri pada daun sirih mengandung chavicol C4H3OH yang merupakan antiseptik yang kuat untuk menanggulangi parasit terutama lchthyophthirius multifiliis. Hasil tersebut telah dibuktikan validitasnya.

Khasiat sirih digunakan sebagai styptic (penahan darah) dan vulnerary (obat luka pad kulit) juga berdaya guna sebagai antioksida, antiseptik, fungisida, dan bakterisidal. Hal ini jelas bahwa daun sirih yang mengandung minyak atsiri bersifat menghambat pertumbuhan parasit dan pada penelitian yang dilakukan membuktikan bahwa atsiri daun sirih dapat menghambat pertumbuhan parasit protozoa pada ikan, namun dalam penerapannya harus memperhatikan ketahanan ikan terhadap air rebusan daun sirih tersebut. konsentrasi yang terlalu tinggi dapat berpengaruh negatif tidak hanya terhadap parasit tapi juga terhadap ikan.

Hasil penelitian menunjukan pengobatan dengan cara perendaman menggunakan bahan alami daun sirih dapat menghambat perkembangbiakan parasit lchthyophthirius multifiliis. pada konsentrasi 8,3 ppt daun sirih, tingkat mortalitas parasit lch mencapai 99,4 %. sedangkan konsentrasi terbaik perendaman dengan daun sirih yang aman untuk ikan dan efektif untuk menanggulangi parasit lch adalah pada 6,7 ppt dengan tingkat mortalitas lch sebesar 86,28% selama 12 jam perendaman.

Hasil pengamatan terhadap gejala klinis dari ikan sebellum dan sesudah perendaman dengan daun sirih menunjukan perbedaan yang nyata. sebelum perendaman, ikan yang terserang parasit lch menunjukan gejala terdapat bintik-bintik putih kecil berwarna putih pad akulit, sirip dan insang.

Sering juga tampak selaput putih abu-abu pada lensa mata ikan. ikan yang telah terinfeksi berat oleh parasit ini akan tampak lemah, sering menyendiri dan menggosok-gosokan ke dasar kolam. selanjutnya ikan akan mengapung atau berada pada permukaan bila mana insang sudah penuh kista parasit lchthyophthirius multifiliis.

Parasit lch yang menyerang insang mengakibatkan insang berwarna merah kehitaman, lamella insang berwarna pucat dan hilangnya fungsi insang, setelah perendaman, ikan yang terserang parasit lch menunjukan perubahan seperti warna pada tubuh kembali cerah dimana bintik tubuh yang ada pada kulit sudah hilang, juga pada sirip ekor, punggung, dada dana perut. Kondisi mata kembali seperti pada saat ikan masih sehat yaitu kehitaman pada lensa mata tampak bening.

Senyawa-senyawa chavicol, alilpirokatekol, kavibetol, kavibetol asetat dan alipirolatekoldiasetat masing-masing pad akadar 200 ug/ml daoat membunuh sempurna C.elegans.

Penggunaan daun sirih untuk pengendalian parasit helminths pada ikan perlu melalui uji pendahuluan untuk mengetahui konsentrasi optimal daun sirih yang dapat menghambat pertumbuhan parasit helminths tetapi aman digunakan untuk ikan.

Selain itu, dalam melakukan pengobatan juga perlu dipertimbangkan cara parasit melakukan penetrasi ke ikan yang akan menentukan metode pengobatan yang dipilih. ukuran ikan, dan spesies ikan yang akan diobati. ukuran dan spesies yang berbeda akan menghasilkan sensivitas yang berbeda terhadap obat yang diaplikasikan